Kamis, 14
November 2019. Pondok Pesantren Nurussalam mengadakan peringatan maulid nabi
yang bertajuk, “Dengan Spirit Maulid Nabi Muhammad SAW, Kita Teladani
Akhlaknya, Agar Memperoleh Syafa’atnya”.
Nabi Muhammad
SAW adalah junjungan umat yang mampu memberi syafa’at di akhirat kelak.
Keistimewaan ini yang tidak didapatkan nabi-nabi lain. Selain itu, apa yang
beliau kerjakan, apa yang beliau tuturkan, hubungan beliau dengan sesama
menjadi pedoman dan rujukan umatnya.
Syeikh Abdullah
Haddad berkata, “Jika sudah sampai zaman akhir, maka tidak ada ulama yang akan
menuntun ke jalan Allah. Maka hanya sholawat yang mampu mendatangkan kita
kepada Allah.” Sholawat ini yang bisa menjadi penolong kita sebagai umat,
ketika amal belum bisa dipastikan diterima oleh Allah.
Dikisahkan
dalam al-Barzanji, ada sahabat yang mendatangi Rasulullah ingin menyampaikan
keluh kesahnya. Akan tetapi, belum sempat ia menyampaikan keluh kesahnya, ia
memandangi wajah Baginda Nabi, masalahnya hilang. Dalam kitab tersebut
menggambarkan bahwa Rasulullah tidak hanya tersenyum pada bibirnya, akan tetapi
wajahnya ikut tersenyum. Keteladanan
dalam diri Rasulullah yang paling mudah ditiru adalah, selalu menebar senyuman
kepada sesama.
Keistimewaan
beliau pun tak luput tertulis dalam qasidah Al-Barzanji,
حَفِظَ الاِلَهُ
كَرَامَةً لِمُحَمَّدٍ ابآءَهُ
الاَمْجَادَ صَوْنًا لِاسْمِهِ
تَرَكُوا
السِّفَاحَ فَلَمْ يُصِبْهُمْ عَارُهُ
مِنْ اَدَمٍ وَ اِلَى أَبِيْهِ وَ أُمِّهِ
Allah memlihara
nenek moyangnya yang mulia (dari perbuatan nista) karena, memuliakan Muhammad,
yaitu untuk menjaga namanya. Mereka meninggalkan perzinaan, maka catat
perzinaan itu tidak menimpa mereka, dari Adam sampai ayah-ibu beliau.
Keteladanan
lain yang mampu kita tiru yaitu, tidak abai pada orang-orang yang dikasihi Nabi
dan ikut mencintainya. Seperti dalam qasidah Al Barzanji yaitu,
اًهْلُ بَيْتِ
الْمُصْطَفَى الطُّهُرِ هُمْ أَمَانُ الاَرْضِ فَالدَّكِرِ
Keluarga
nabi adalah orang-orang pilihan yang disucikan, mereka pengaman bumi, ingatlah
Upaya seseorang
untuk mencintai kekasihnya, diwujudkan dengan mengetahui segala sesuatu yang
ada dalam diri kekasihnya. Sama haknya dengan seorang umat ketika hendak memunculkan mahabbah kepada
Nabi, maka ia perlu mengetahui perjalanan kisah nabi dari hidup hingga
wafatnya. Sedang bagi santri, upaya paling ringan untuk meneladani beliau juga
bisa diwujudkan dengan menjaga warisan beliau yaitu ilmu dan hal. Sesuai dengan
mauidzoh yang disampaikan oleh, Dr Moh
Tamtowi, M.Ag. Dalam mauidzhohnya beliau menyampaikan, dua hal yang diwariskan
nabi yaitu : Ilmu dan hal. Ilmu mampu diraih dengan ta’allum/ bid dirasah
(belajar), sedangkan hal diraih dengan bisuhbati wal mahabbah.
Dalam hadits dijelaskan bahwa,
ماافضل
بعد النبوة سوى العلم
Tidak
ada yang lebih utama setelah kenabian kecuali ilmu.
Kebutuhan
santri akan ilmu tidak sekedar pengetahuan semata, akan tetapi ilmu yang bisa
menjadi penyinar dalam laku. Diceritakan dahulu ada seorang ulama mengeluh akan
hafalannya yang rusak, kemudian ia mendapat nasehat bahwa yang merusak hafalan
adalah maksiat. Kunci kekuatan ilmu adalah upaya meninggalkan maksiat untuk
mendapatkan cahaya ilmu. Seperti maqolah Imam Syafi’I,
شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي
إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ
اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي
“Aku pernah mengadukan kepada
Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan
maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya
Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin,
2: 190).
Selain
itu, upaya meneladani harus diimbangi dengan kesadaran dirinya akan posisinya
sebagai santri. Tidak hanya melulu mengikuti trend, meneladani Rasulullah hanya
perkara memperlihatkan jenggotnya. Dalam maqolah disebutkan,
هلك
القوم لا عرف
قدر نفسه
Orang
akan rusak jika tidak tahu kadar dirinya.
Ketika ia sadar bahwa kadar
posisinya hanya sebagai santri, maka hal yang paling sederhana ia lakukan
adalah menjaga warisan nabi berupa ilmu yang tidak hanya sebagai pengetahuan
semata, tetapi ilmu yang terterap dalam laku
dan mengikuti hal (perilaku) Rasulullah. Tak lupa pula dalam penjagaan
ilmu tersebut, ia mampu menjaga dirinya dari meninggalkan maksiat agar ilmu
tersebut mampu menyinari dirinya. Hal tersebut sebagai upaya keteladanannya
meniru Rasulullah sesuai dengan kadarnya sebagai santri. Semoga kelak kita
semua diakui menjadi umatnya. Aamiiin. (aeninnafs/red)
0 komentar:
Posting Komentar