Gencarnya Tim
Nusa Media dalam mempromosikan blog resmi Pondok Pesantren Nurussalam-Krapyak ini
harus diapresiasi tinggi oleh segenap keluarga besar Nurussalam di dalamnya
maupun masyarakat secara umum. Disadari
atau tidak, dengan diterbitkannya kembali (reborn),
dan dipromosikan secara bombastis, blog resmi ini memantik santri-santri Nurussalam untuk berfikir, menganalisa dan menuliskannya.
Atau kalau kita meminjam metode penelitian sejarah, sebelum menuliskan sebuah
tulisan/karya, setidaknya ada empat tahap, yaitu heuristic (pengumpulan
sumber/ bahan tulisan), verifikasi ( memilah dan memilih sumber yang
dianggap layak, dengan menggunakan kritik tentunya, baik ekstern maupun
intern), interpretasi, dan terakhir historiografi ( penulisan). Dengan
ini semua, secara tidak langsung kegiatan ini membawa Nurussalam kepada
posisi/lingkar intelektualitas ( pengembangan ilmu dan keilmuan), dan akhirnya
kegiatan ini diharapkan menjadi bagian dari kecerdasan bersama, atau dalam
bahasa pak Kuntowijoyo disebut sebagai “ collective intelligence”.
Tulisan dan tradisi tulis-menulis, sejatinya merupakan tradisi umat Islam
sejak dulu. Menulis, seperti yang
dikatan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitabnya al-Fatawa al-Haditsiyyah
“ idz ma kutiba qarra wa ma hufidha farra” apa yang kita tulis itu sifatnya tetap (
tidak mudah hilang sepanjang zaman), dan apa yang dihafal cepat hilang (ditelan
masa). Hal ini senyatanya benar, karena ketika kita menulis, berarti kita
memberi sumbangsih keilmuan baik bagi masa kita sendiri maupun masa yang akan
datang, tetapi ketika keilmuan itu hanya tersimpan dalam memori (ingatan) saja,
maka ia akan hilang pula bersama kematian seseorang tersebut. Hal ini sejalan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, bahwa rasulullah SAW bersabda “qayyidu
al-ilma bi al kitabah” yang artinya kurang lebih “ ikatlah ilmu itu
dengan tulisan /dengan cara ditulis”. Maka tak heran, ketika kita
sekarang mengenal imam Syafi’i, imam Bukhori, imam Abu Hasan al-Asy’ari, dan
imam al-Ghazali (yang secara berurutan mewakili khazanah keilmuan fiqh, hadits,
kalam dan tasawwuf), bukan sebab kita berjumpa dan menyantri secara
langsung kepada mereka, tetapi karena karya-karya yang mereka tulis berabad- abad lalu sampai dan dikaji oleh
kita sampai saat ini. Dan sesungguhnya masih banyak lagi karya-karya ulama
terdahulu, namun sayang, karya-karya mereka tidak sampai kepada kita, karena
salah satunya disebabkan oleh sebuah serangan bangsa Mongol terhadap Baghdad di
tahun 1258 M, menyebabkan karya-karya mereka tak sampai kepada kita.
Tradisi
Tulis- Menulis sebagai Poros Peradaban
Islam
Sejatinya, kalau kita runut dalam sejarah Islam paling awal, turunnya wahyu
pertama surat al-‘Alaq ayat 1-5 pada tahun 610 M, mengisyaratkan secara jelas
akan urgensitas menulis untuk membangun peradaban manusia, yang tersirat dalam
ayatnya yang keempat yang berbunyi “ ‘allama al- insana bi al-qalam”,
yang artinya “ Dialah Dzat yang mengajarkan manusia dengan perantara qalam” mengenai ayat ini imam Qatadah mengatakan “ al-qalam
(pena) itu termasuk ni’mat yang diberikan oleh Allah, dan seandainya ia tidak ada
(baca qolam /tradisi tulis-menulis) maka agama tidak akan berdiri tegak dan
kehidupan tidak sejahtera (lihat Marah Labid Tafsir al-Nawawiy, karangan Syaikh
Muhammad Nawawi al-Bantany al-Jawy) . Dari apa yang dikatan imam Qatadah tersebut, kita dapat melihat betapa
pentingnya peran tulisan bagi kehidupan manusia, bahkan ia memiliki dua matra/ dimensi
, satu sisi untuk kebaikan agamanya (vertikal) dan sisi lain untuk
kebaikan kelangsungan kehidupan manusia (horisontal).
Sejarah pun telah membuktikan kekuatan tulisan ini dalam mengubah kehidupan
dan peradaban dunia. Dalam buku-buku sejarah Peradaban Islam, banyak disebutkan bahwa zaman keemasan Islam (the
Golden Age of Islam) terjadi pada masa Daulah Abbasiyyah paruh pertama (antara
tahun 750 - 847 M) pertanyaannya yang muncul adalah apa yang terjadi selama rentan
waktu tersebut? Setelah dilihat, ternyata selama rentan waktu itu, umat Islam
sedang semangat-semangatnya dalam menggalakan pengembangan ilmu dan keilmuan, yang nantinya dikristalkan
dalam bentuk penerjemahan–penerjemahan karya-karya dari Persia, Yunani, dan India
dan lainnya ke dalam Bahasa Arab dengan Baitul Hikmah sebagai lembaga
yang menaunginya. Sehingga muncul di dalamnya ulama-ulama dan
cendekiawan-cendekiawan muslim dengan sumbangsih keilmuannya masing-masing yang
terhimpun dalam karya-karya tulis mereka. Potret peradaban masa Abbasiyyah awal ini
dapat pembaca lihat dalam buku “ Dhuha al- Islam, jilid III”
karya Ahmad Amin yang merupakan rangkaian dari dua buku lainnya, yaitu Fajr
al-Islam, dan Dhuhr al-Islam.
Namun perlu diketengahkan juga bahwa, pencapaian masa keemasan tersebut
tidak lepas dari masa-masa sebelumnya sebagai peletak dasar, yaitu masa Nabi,
Khulafa ar-Rasyidin, dan Daulah Umayyah, dan juga hal ini tidak menafikan
peradaban setelahnya (pasca Abbasiyyah paruh pertama). Karena Peradaban
setelahnya tetap ada namun tidak sementereng (baca: secemerlang) apa yang telah dicapai oleh Baghdad secara
umum. Sebab dimana tulisan dan tradisi tulis-menulis itu tetap ada, bisa
dikatakan bahwa peradaban itu tetap ada pula.
Akhirnya kita pun dapat memahami bahwa tradisi menulis merupakan langkah
awal dari terbangunya sebuah peradaban. Ketika kita menulis berarti kita telah
meletakkan pondasi dasar akan sebuah bangunan peradaban tersebut. Dan
seandainya peradaban itu telah ada, maka kita telah mewarnai peradaban
tersebut, sehingga apa yang kita tulis merupakan bagian dari peradaban itu
sendiri.
Selamat
menulis!!!!!!!!!!!!!!
Penulis : Jamaluddin
๐๐
BalasHapusMantab Pak Buk ๐ช๐ช๐ช
BalasHapus