"Damai Menyejukkan" Official Blog of Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Nurussalam

Video of the Day

November 15, 2017

Islam dan Tradisi Tulis-Menulis: Sebuah Refleksi


Gencarnya Tim Nusa Media dalam mempromosikan blog resmi Pondok Pesantren Nurussalam-Krapyak ini harus diapresiasi tinggi oleh segenap keluarga besar Nurussalam di dalamnya maupun masyarakat secara umum. Disadari atau tidak, dengan diterbitkannya kembali (reborn), dan dipromosikan secara bombastis, blog resmi ini memantik santri-santri Nurussalam untuk berfikir, menganalisa dan menuliskannya. Atau kalau kita meminjam metode penelitian sejarah, sebelum menuliskan sebuah tulisan/karya, setidaknya ada empat tahap, yaitu heuristic (pengumpulan sumber/ bahan tulisan), verifikasi ( memilah dan memilih sumber yang dianggap layak, dengan menggunakan kritik tentunya, baik ekstern maupun intern), interpretasi, dan terakhir historiografi ( penulisan). Dengan ini semua, secara tidak langsung kegiatan ini membawa Nurussalam kepada posisi/lingkar intelektualitas ( pengembangan ilmu dan keilmuan), dan akhirnya kegiatan ini diharapkan menjadi bagian dari kecerdasan bersama, atau dalam bahasa pak Kuntowijoyo disebut sebagai “ collective intelligence”.
Tulisan dan tradisi tulis-menulis, sejatinya merupakan tradisi umat Islam sejak dulu. Menulis, seperti  yang dikatan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitabnya al-Fatawa al-Haditsiyyah “ idz ma kutiba qarra wa ma hufidha farra”  apa yang kita tulis itu sifatnya tetap ( tidak mudah hilang sepanjang zaman), dan apa yang dihafal cepat hilang (ditelan masa). Hal ini senyatanya benar, karena ketika kita menulis, berarti kita memberi sumbangsih keilmuan baik bagi masa kita sendiri maupun masa yang akan datang, tetapi ketika keilmuan itu hanya tersimpan dalam memori (ingatan) saja, maka ia akan hilang pula bersama kematian seseorang tersebut. Hal ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, bahwa rasulullah SAW bersabda “qayyidu al-ilma bi al kitabah” yang artinya kurang lebih “ ikatlah ilmu itu dengan tulisan /dengan cara ditulis”. Maka tak heran, ketika kita sekarang mengenal imam Syafi’i, imam Bukhori, imam Abu Hasan al-Asy’ari, dan imam al-Ghazali (yang secara berurutan mewakili khazanah keilmuan fiqh, hadits, kalam dan tasawwuf), bukan sebab kita berjumpa dan menyantri secara langsung kepada mereka, tetapi karena karya-karya  yang mereka tulis  berabad- abad lalu sampai dan dikaji oleh kita sampai saat ini. Dan sesungguhnya masih banyak lagi karya-karya ulama terdahulu, namun sayang, karya-karya mereka tidak sampai kepada kita, karena salah satunya disebabkan oleh sebuah serangan bangsa Mongol terhadap Baghdad di tahun 1258 M, menyebabkan karya-karya mereka tak sampai kepada kita.  

Tradisi Tulis- Menulis sebagai Poros  Peradaban Islam


Sejatinya, kalau kita runut dalam sejarah Islam paling awal, turunnya wahyu pertama surat al-‘Alaq ayat 1-5 pada tahun 610 M, mengisyaratkan secara jelas akan urgensitas menulis untuk membangun peradaban manusia, yang tersirat dalam ayatnya yang keempat yang berbunyi “ ‘allama al- insana bi al-qalam”, yang artinya “ Dialah Dzat yang mengajarkan manusia dengan perantara qalam”  mengenai ayat ini imam Qatadah mengatakan “ al-qalam (pena) itu termasuk ni’mat yang diberikan oleh Allah, dan seandainya ia tidak ada (baca qolam /tradisi tulis-menulis) maka agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan tidak sejahtera (lihat Marah Labid Tafsir al-Nawawiy, karangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantany al-Jawy) . Dari apa yang dikatan imam Qatadah tersebut, kita dapat melihat betapa pentingnya peran tulisan bagi kehidupan manusia, bahkan ia memiliki dua matra/ dimensi , satu sisi untuk kebaikan agamanya (vertikal) dan sisi lain untuk kebaikan kelangsungan kehidupan manusia (horisontal).
Sejarah pun telah membuktikan kekuatan tulisan ini dalam mengubah kehidupan dan peradaban dunia. Dalam buku-buku sejarah Peradaban Islam,  banyak disebutkan bahwa zaman keemasan Islam (the Golden Age of Islam) terjadi pada masa Daulah Abbasiyyah paruh pertama (antara tahun 750 - 847 M) pertanyaannya yang muncul adalah apa yang terjadi selama rentan waktu tersebut? Setelah dilihat, ternyata selama rentan waktu itu, umat Islam sedang semangat-semangatnya dalam menggalakan pengembangan ilmu dan keilmuan, yang nantinya dikristalkan dalam bentuk penerjemahan–penerjemahan karya-karya dari Persia, Yunani, dan India dan lainnya ke dalam Bahasa Arab dengan Baitul Hikmah sebagai lembaga yang menaunginya. Sehingga muncul di dalamnya ulama-ulama dan cendekiawan-cendekiawan muslim dengan sumbangsih keilmuannya masing-masing yang terhimpun dalam karya-karya tulis mereka. Potret peradaban masa Abbasiyyah awal ini dapat pembaca lihat dalam buku “ Dhuha al- Islam, jilid III” karya Ahmad Amin yang merupakan rangkaian dari dua buku lainnya, yaitu Fajr al-Islam, dan Dhuhr al-Islam.
Namun perlu diketengahkan juga bahwa, pencapaian masa keemasan tersebut tidak lepas dari masa-masa sebelumnya sebagai peletak dasar, yaitu masa Nabi, Khulafa ar-Rasyidin, dan Daulah Umayyah, dan juga hal ini tidak menafikan peradaban setelahnya (pasca Abbasiyyah paruh pertama). Karena Peradaban setelahnya tetap ada namun tidak sementereng (baca: secemerlang) apa yang telah dicapai oleh Baghdad secara umum. Sebab dimana tulisan dan tradisi tulis-menulis itu tetap ada, bisa dikatakan bahwa peradaban itu tetap ada pula. 
Akhirnya kita pun dapat memahami bahwa tradisi menulis merupakan langkah awal dari terbangunya sebuah peradaban. Ketika kita menulis berarti kita telah meletakkan pondasi dasar akan sebuah bangunan peradaban tersebut. Dan seandainya peradaban itu telah ada, maka kita telah mewarnai peradaban tersebut, sehingga apa yang kita tulis merupakan bagian dari peradaban itu sendiri.
Selamat menulis!!!!!!!!!!!!!!

Penulis : Jamaluddin




Nurussalam

Author & Editor

Tim NUSA Media



2 komentar:

Social Time

Facebook
Like Us
Google Plus
Follow Us
Instagram
Follow Us
Youtube
Subscribe Us

Subscribe to our newsletter

(Get fresh updates in your inbox. Unsubscribe at anytime)