Jika kita mengutip dari pendapat KH. Abdurrahman Wahid (Alm) yang mengatakan bahwa pesantren adalah subculture dari pola kehidupan masyarakat, nampaknya ini telah menjadi aksiologi logis yang tak terbantahkan dalam masyarakat. Sebagaimana terdapat dalam sosiologi, sebuah subcultur minimal harus memiliki keunikannya tersendiri dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditatati sepenuhnya. Kesemuanya ini dimiliki sepenuhnya oleh pesantren, yang memiliki pola dan mekanisme tersendiri dalam tata nilai, perilaku, dan bahkan model pendidikannya. Ini artinya bahwa pesantren dalam kehidupan masyarakat kita telah menjadi sebuah bagian dari budaya yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan masyarakat itu sendiri. Pola kehidupan pesantren kita adalah miniatur dari sistem kehidupan masyarakat.
Mencoba menengok kembali sejarah, pesantren kita sesungguhnya mempunyai tempat yang sangat istimewa bagi perkembangan bangsa. Setiap perkembangan bangsa kita, tidak bisa dipungkiri bahwa peran pesantren sangat vital. Bagaimana para santri dulu bisa mendominasi pergerakan nasionalis dengan digawangi para kyai sepuh pesantren seperti pangeran Diponegoro, KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbulloh, Jendral Sudirman, Ki Bagus Hadikoesoemo (Muhammadiyah) KH. Wahid Hasyim (NU) yang memberikan kontribusi besar atas lahirnya pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan masih banyak lagi tokoh-tokoh pahlawan nasional yang berlatar belakang pesantren. Tidak berhenti pada itu saja, sampai masa reformasi ini khususnya peranan kyai juga ikut mewarnai perkembangan reformasi demokrasi itu sendiri. Seperti KH. Abdurrahman Wahid (Alm.), dll.
Menghadapi era global sebagai perkembangan masa modernisasi kini, posisi pesantren dituntut untuk mengikuti kondisi tersebut. Pesantren diharapkan tampil dengan sebuah ciri khas tertentu sebagai wujud eksistensi pesantren tersebut tanpa harus menghilangkan budaya pesantren sendiri, sehingga pesantren tetap mengikuti perkembangan zaman dan tidak terkesan eksklusif ataupun terhindar dari kesan jadul maupun kaku.
Sebagai salah satu tantangan yang harus dihadapi pesantren kini adalah tantangan terhadap kehidupan multikultural. Terkadang santri terkesan kaku untuk berhadapan dengan kehidupan luar yang penuh dengan budaya yang membutuhkan sikap toleransi dalam menyikapinya. Dengan semangat konservatif para santri cenderung menolak dan angkuh terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Terlepas itu semua, memang sebenarnya para santri dituntut untuk membawa perubahan di masyarakat sebagai aplikasi yang mereka dapatkan di pesantren. Aplikasi inilah yang perlu di kemas secara apik dan menarik tanpa melukai sebuah budaya yang ada di masyarakat. Hal ini telah dicontohkan jauh dulu ketika para wali songo mencoba masuk dan berakulturasi dengan budaya Hindu-Budha dengan tetap memasukkan nilai-nilai islami dalam sendi kehidupan masyarakat.
Selain itu kini pesantren sebagai salah satu benteng terakhir islam harus mampu mencetak santri-santri yang multidimensional. Jika boleh meminjam istilah dalam ilmu al-Qur’an yakni, Shalih fiikulli zaman wa makan. Artinya dimana pun tempat dan waktunya santri tetap bisa menjadi penggerak umat. Santri tidak hanya dituntut menguasai ilmu-ilmu agama saja yang memang menjadi background pendidikannya, tetapi santri diharapkan mampu menjawab problema di masyarakat. Baik permasalahan hukum, ekonomi, sosial, budaya, maupun problem lain di masyrakat.
Bukan saatnya kini santri hanya berdiri dibelakang kemajuan peradaban zaman. Santri harus bisa menjadi penerus gerakan dakwah yang telah dirintis oleh para kyai sepuh pesantren yang sekaligus menjadi founding fathers negeri ini. Sangat disayangkan sekali jika perjuangan tersebut berhenti dan stagnan pada saat kemudahan-kemudahan tersaji. Tidak sedikit para santri yang mempunyai keahlian di bidang TI (Technology Information), dan masih banyak lagi keahlian yang dimilki oleh seorang santri. Kemudahan-kemudahan tersebut alangkah lebih baiknya dipergunakan untuk menunjang keberlangsungan proses perkembangan dan kemajuan pondok pesantren.
Jika pada masa lalu pondok pesantren bisa berjaya bahkan menguasai peradaban nusantara I (Indonesia, Malaysia, Singapura, Miyanmar,dll) kini saatnya para santri untuk bergerak maju dengan tetap mempertahankan ciri khas dan budaya kepesantrenannya – misalnya madrasah diniyah, sorogan,dll - tanpa menghilangkan identitas tersebut. Bukan saatnya kini santri merasa minder dan tidak percaya diri, tanamkan bahwa santri tidak hanya agen of change (agen perubahan) saja tetapi juga sebagai agen of devolepment (agen pengembang) untuk mengembangkan khazanah keilmuan yang ada sehingga nantinya terbentuklah santri yang komprehensif dan mempunyai pikiran yang luas baik tentang permasalahan agama maupun problema yang dihadapi di masyarakat.
Melihat konstelasi sejarah bahwa peran pesantren sangatlah besar dalam pembentukan dan kemajuan Bangsa Indonesia ini, maka tepat kiranya kini saatnya untuk merevitalisasi dan membangkitkan kembali semangat perjuangan para santri untuk terus mengembangkan potensi yang ada, tentunya untuk kemajuan bangsa Indonesia dan khususnya agama Islam tercinta. Agar ke depan para santri mampu memberikan kontribusi besar bagi negara ini sebagaimana para kyai sepuh dulu yang sekaligus mampu menjadi pahlawan bangsa dan santri pun dapat berdiri tegap mengahadapi tantangan zaman.
Oleh : M. Wildan Humaidi
Mahasiswa Syariah dan Hukum UIN Jogja
dan Santri PP. Al-Munawwir-Krapyak
0 komentar:
Posting Komentar