Haidar Bagir dalam bukunya menyatakan
pada saat ini umat manusia telah hidup “pada zaman kacau”, zaman dimana arus
informasi aksesibel, tersebar luas tanpa batas, namun sikap masyarakat sebagai
konsumen media berperilaku tidak kritis.[1]
Segala informasi yang tidak dapat di kebenarannya dengan mudah digandakan dan disebarluaskan ke
publik tanpa melakukan crosscheck. Kadang melalui media sosial seperti
Facebook, Website/blog, WhatsApp broadcast, akun Twitter dan
sebagainya. Jika informasi-informasi yang demikian memiliki konten positif dalam artian berguna
untuk semua orang mengajak kepada kebaikan, kemandirian, persatuan, gotong
royong, tentunya akan memberikan dampak positif karena memang media sosial itu
sendiri ikut serta dalam membentuk cara berpikir dan cara hidup seseorang
selaku penggunanya.
Namun yang dikhawatirkan adalah
sebaliknya, pengguna media sosial menyebarkan informasi-informasi yang sensasional dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya, mengajak kepada permusuhan, men-judge, membully,
menghina, mencaci-maki, dan mengafirkan antara satu kelompok agama dengan
agama tertentu, antara satu kelompok politik dengan kelompok politik tertentu,
antara satu etnis dengan etnis tertentu yang kemudian informasi-informasi
tersebut langsung diserapnya, diyakini kebenarannya, dijadikan sebagai
referensi, bahkan dijadikan sebagai guru dalam keilmuannya. Kondisi demikian jika terus dipertahankan dikhawatirkan suatu saat keadaan bisa
terlepas di luar kendali.
Dari konflik terkecil tak jarang menyeret
kepada konflik yang lebih besar, bahkan dibalik konflik kemasyarakatan tersebut
tak menutup kemungkinan adanya pihak
ketiga atau orang yang memiliki kepentingan menggunakan kesempatan
tersebut demi mendapatkan keuntungan
pribadi maupun kelompoknya, termasuk pemerintahan-pemerintahan autoritarian,
kelompok-kelompok militer dalam pemerintahan, kelompok-kelompok politik, maupun
kelompok radikal terorganisasi baik di dalam maupun di luar negeri.[2]
Dengan adanya kasus-kasus bom bunuh diri di sejumlah tempat yang strategis
seperti pasar, mall, tempat ibadah, dan pusat keramaian lainnya di seluruh
Indonesia merupakan contoh manifestasi kelompok radikal dalam mengekspresikan
jati dirinya, bahkan bagi mereka memerangi sebagian orang atau kelompok yang
pemahamannya berbeda dianggap sebagai perbuatan mulia atau jihad fi
sabilillah. pengertian jihad tidak semestinya dipahami secara sempit, akan
tetapi harus dimaknai secara luas sesuai dengan konteksnya. Jihad tidak melulu
identik dengan perang atau memerangi
orang lain yang tidak sealiran dengan kelompoknya, dalam konteks tertentu jihad
juga bisa dimaknai sebagai perjuangan menegakan kebenaran melalui ajaran-ajaran
Islam yang rahmatan lil-‘alamin dan penuh perdamaian[3].
Jika ditelisik lebih mendalam dengan alasan apapun bahkan atas nama agama
sekalipun perbuatan radikal demikian sangat tidak dibenarkan, karena pada dasarnya
keseluruhan agama baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan sebagainya,
dari segi konsepsi kesemuanya mengacu pada titik dan cita-cita yang sama yakni
perdamaian dan kerukunan.[4]
Dengan segala kecanggihan alat komunikasi
dan semakin pesatnya pengguna internet dikalangan generasi muda saat,ini,
kondisi tersebut tak jarang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk
menyebarkan pemikiran-pemikirannya yang ekstrem (pemikiran yang
melewati batas-batas rasional). kata ekstrem menurut istilah idiologi
diartikan sebagai sesuatu yang berlebihan dalam berpolitik, beragama,
bermadzhab yang dapat membahayakan individu maupun kelompok lain.
Bentuk-bentuk manifestasi ekstrem
biasanya terlihat pada sikap tidak toleran terhadap norma-norma yang diterima
dalam masyarakat termasuk pada konstitusi, UUD dan lain-lain, cenderung memilih
cara yang ekstreme dalam menyelesaikan masalah, dan menolak hak asasi manusia
(HAM) demi memaksakan tujuan.[5]
Aktivis media sosial yang tidak kritis, berpengetahuan dangkal, dalam hal ini
menjadi sasaran empuk kelompok radikal dalam menyebarkan pemikiran-pemikirannya
yang ekstrem, karena memang Internet dan jejaring media sosial merupakan salah
satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap anak muda untuk tertarik
dengan perlakuan ekstremisme.
![]() |
Source: http://bit.ly/2GgLMFu |
Dalam media sosial pemahaman ekstrem ini
sangat banyak ditemukan, biasanya tersaji dalam bentuk narasi-narasi maupun
propaganda-propaganda lainnya. Narasi ekstremis sebagaimana dinyatakan oleh
Irfan Abu Bakar diartikan sebagai rangkaian
cerita yang dibuat sedemikian rupa, mengacu kepada alur cerita yang dikenal
umum, untuk memenuhi hasrat mengatasi konflik dengan cara-cara ekstrem
(kekerasan, pengerusakan, terror). Narasi ekstrem biasanya dibuat dengan
semenarik mungkin dengan mempertimbangkan unsur-unsur di dalamnya seperti
narasi induk (kitab suci al-Qur’an, hadist, atau peristiwa yang memiliki nilai
historis), tema utama, aktor-aktor utama, plot (setting tempat dan waktu
klimaks konflik, resolusi konflik), dan retorika. Adapun salah satu bentuk contoh narasi
ekstremis antara lain:
Dari contoh diatas pesan yang hendak disampaikan dari kandungan narasi tersebut adalah “cara mengatasi konflik, Negara harus melindungi Islam dari serangan Kristen”. Mendeskreditkan kelompok lain yang tidak sepaham dengan pemikirannya itulah yang disebut dengan pemahaman ekstrem. Narasi extremis merupakan bagian utama dan terkuat dalam propaganda ekstremis. Selain narasi, propaganda juga sering disampaikan melalui pesan pendek, seperti iklan, meme, puisi, dll. Bentuk ini biasa disebut dengan “messaging” (penyampaian pesan ekstrem).
“kebanyakan majelis-majelis NU yang didirikan hanya membicarakan masalah khilafiyah dan memusuhi golongan Islam lain. padahal ada hal yang lebih penting dari pada harus terus mengurusi hal-hal yang justru menggoyahkan persatuan umat muslim. muslim NU mencapai 60% dari total penduduk Indonesia, namun muslim NU lah yang menjadi mayoritas penduduk miskin dan pendidikan rendah di Indonesia. Berbeda dengan Muhammadiyah yang menguasai dan pendidikan Indonesia, juga wahabi yang dilindungi oleh pemerintah Arab Saudi, sehingga sulit di serang oleh kaum sabilis. Kaum muslim NU akhirnya menjadi sasaran empuk kaum kristenisasi, sehingga tak dapat dipungkiri banyak muslim NU yang murtad dari agamanya. Merekalah penyebab megapa muslim Indonesia terus berkurang dari 95% menjadi 87% saat ini.”
Dari contoh diatas pesan yang hendak disampaikan dari kandungan narasi tersebut adalah “cara mengatasi konflik, Negara harus melindungi Islam dari serangan Kristen”. Mendeskreditkan kelompok lain yang tidak sepaham dengan pemikirannya itulah yang disebut dengan pemahaman ekstrem. Narasi extremis merupakan bagian utama dan terkuat dalam propaganda ekstremis. Selain narasi, propaganda juga sering disampaikan melalui pesan pendek, seperti iklan, meme, puisi, dll. Bentuk ini biasa disebut dengan “messaging” (penyampaian pesan ekstrem).
Propaganda-propaganda ekstremis saat ini
sangat mudah sekali ditemukan di media sosial, seperti Facebook, Instagram,
akun Twitter, WA, dan lain-lain. Jika penguna media sosial setiap hari terus
dihadapkan dengan berita-berita atau bacaan-bacaan ekstrem yang berseliweran
tak menutup kemungkinan akan terpengaruhi dan terjerumus ke dalam
pemahaman-pemahaman tersebut seiring dengan berjalannya waktu. Maka disinilah
peran pemerintah dalam satu sisi sangat dibutuhkan untuk mengatur dan menata
lalu lintas penyebaran informasi di masyarakat.
Selain adanya aturan dari pemerintah,
pengguna media sosial selaku konsumen juga harus bertindak kritis. Cara yang
dapat dilakukan oleh pengguna media sosial dalam hal ini adalah meng-counter berita-berita ekstrem dengan membuat
narasi tandingan atau membuat kontra narasi ekstremis, yang bertujuan
menandingi narasi ekstremis sehingga audiens selaku pengguna media sosial
menolak mendukung tujuan ekstremis. Tanpa ada kontra narasi audiens akan dibuat
percaya pada argumen ekstremis.
Membuat narasi tandingan atau kontra
narasi ekstremis harus mampu mengenali titik lemah argument ekstremis, sehingga
akan mudah dipatahkan melalui argument lain berdasarkan pada fakta dan
kesejarahan yang ada. Narasi induk yang dapat dipakai sebagai inspirasi dalam
membuat kontra narasi ekstremis diantaranya perjanjian Hudaibiyah, Khutbatul
Wada’ perumpamaan orang bersedekah dijalan Allah, negeri Saba, dan semua cerita
yang bersumber dari al-Qur’an, hadist, dan sejarah.[6]
Argumen-argumen yang dapat di gunakan sebagai bahan dasar dalam membuat kontra
narasi ekstremis mengacu kepada hak-hak asasi manusia, seperti perlindungan
terhadap anak dan isteri (keluarga), ukhwah Islamiyah, menolong kaum lemah dan
korban konflik, menjaga moralitas
sosial, menegakkan keadilan dan kejujuran, kesalehan, perhatian dan harga diri.
Adapun contoh aplikasi kontra narasi dalam meng-counter narasi ekstremis sebagai berikut:
Adapun contoh aplikasi kontra narasi dalam meng-counter narasi ekstremis sebagai berikut:
Argumen narasi ekstremis, mengenali masalah atau kemalangan yang
dijadikan concern dalam narasi ekstremis dan cara mengatasinya.
·
Kemiskinan dan keterpurukan umat Islam,
kelicikan musuh Islam.
·
Konflik dan keretakan dalam umat Islam,
konspirasi musuh Islam.
·
Korupsi merajalela, karena tidak menggunakan
hukum Allah, sistem daulah Islamiyah dan khilafah.
Argumen
kontra narasi ekstremis dalam membelokan cara mengatasi masalah kemiskinan dan keterpurukan umat Islam,
dikerangka ulang menjadi kemiskinan masyarakat umum, termasuk umat Islam
perlu pemberdayaan ekonomi, kebijakan pemerataan ekonomi, sbb.
Konflik dan keretakan dalam umat Islam, diterangkan ulang menjadi konflik sosial politik. Perlu dialog, negosiasi, rekonsiliasi.
Konflik dan keretakan dalam umat Islam, diterangkan ulang menjadi konflik sosial politik. Perlu dialog, negosiasi, rekonsiliasi.
Kritis, bijak, cerdas, menebar kebaikan adalah
merupakan syarat utama pengguna media sosial masa kini. Jangan mudah
terprovokasi, terhasut, dan mudah membenarkan segala sesuatu apa yang didapat
dari dunia internet tanpa melakukan crosscheck, terutama masalah konflik
politik maupun keagamaan. Jadikan ke canggihan teknologi digital saat ini sebagai ajang untuk mengembangkan potensi
diri, mengasah kemampuan, menebar kebaikan, untuk menyambut masa depan yang
lebih cemerlang. Generasi milennial saat ini harus bijak dalam
menggunakan media sosial, bijak dalam memilih berita, karena masa depan negara
Indonesia untuk beberapa tahun ke depan ditentukan oleh kita sebagai generasi milennial saat ini.
SALAM DAMAI. (Siti Maghfiroh/ Nailil Fithriyyah)
SALAM DAMAI. (Siti Maghfiroh/ Nailil Fithriyyah)
[3] Ali Usman,
Kiai Mengaji Santri Acungkan Jari, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012, Hlm.
125-127.
[4] Amin Abdullah,
Mencari Islam: Studi Islam Dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000, Hlm. 16.
[5]
Irfan Abu Bakar, disampaikan pada acara Preliminary Workshop: Penguatan
Pesantren Dalam Promosi HAM Melalui Kontra Narasi Ekstremis, malang, 30 oktober-2 November 2017.
0 komentar:
Posting Komentar