"Damai Menyejukkan" Official Blog of Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Nurussalam

Video of the Day

Januari 24, 2018

MEDIA SOSIAL SEBAGAI GURU MASA KINI (Narasi Ekstremis Vs Kontra Narasi Ekstremis Beserta Pengaruhnya Terhadap Generasi Millennial)


Source: http://bit.ly/2DDOQwW

Haidar Bagir dalam bukunya menyatakan pada saat ini umat manusia telah hidup “pada zaman kacau”, zaman dimana arus informasi aksesibel, tersebar luas tanpa batas, namun sikap masyarakat sebagai konsumen media berperilaku tidak kritis.[1] Segala informasi yang tidak dapat di kebenarannya  dengan mudah digandakan dan disebarluaskan ke publik tanpa melakukan crosscheck. Kadang melalui media sosial seperti Facebook, Website/blog, WhatsApp broadcast, akun Twitter dan sebagainya. Jika informasi-informasi yang demikian  memiliki konten positif dalam artian berguna untuk semua orang mengajak kepada kebaikan, kemandirian, persatuan, gotong royong, tentunya akan memberikan dampak positif karena memang media sosial itu sendiri ikut serta dalam membentuk cara berpikir dan cara hidup seseorang selaku penggunanya.

Namun yang dikhawatirkan adalah sebaliknya, pengguna media sosial menyebarkan informasi-informasi  yang sensasional dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya, mengajak kepada permusuhan, men-judge, membully, menghina, mencaci-maki, dan mengafirkan antara satu kelompok agama dengan agama tertentu, antara satu kelompok politik dengan kelompok politik tertentu, antara satu etnis dengan etnis tertentu yang kemudian informasi-informasi tersebut langsung diserapnya, diyakini kebenarannya, dijadikan sebagai referensi, bahkan dijadikan sebagai guru dalam keilmuannya.  Kondisi demikian jika terus dipertahankan  dikhawatirkan suatu saat keadaan bisa terlepas di luar kendali.

Dari konflik terkecil tak jarang menyeret kepada konflik yang lebih besar, bahkan dibalik konflik kemasyarakatan tersebut tak menutup kemungkinan adanya pihak  ketiga atau orang yang memiliki kepentingan menggunakan kesempatan tersebut  demi mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompoknya, termasuk pemerintahan-pemerintahan autoritarian, kelompok-kelompok militer dalam pemerintahan, kelompok-kelompok politik, maupun kelompok radikal terorganisasi baik di dalam maupun di luar negeri.[2] Dengan adanya kasus-kasus bom bunuh diri di sejumlah tempat yang strategis seperti pasar, mall, tempat ibadah, dan pusat keramaian lainnya di seluruh Indonesia merupakan contoh manifestasi kelompok radikal dalam mengekspresikan jati dirinya, bahkan bagi mereka memerangi sebagian orang atau kelompok yang pemahamannya berbeda dianggap sebagai perbuatan mulia atau jihad fi sabilillah. pengertian jihad tidak semestinya dipahami secara sempit, akan tetapi harus dimaknai secara luas sesuai dengan konteksnya. Jihad tidak melulu identik  dengan perang atau memerangi orang lain yang tidak sealiran dengan kelompoknya, dalam konteks tertentu jihad juga bisa dimaknai sebagai perjuangan menegakan kebenaran melalui ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil-‘alamin dan penuh perdamaian[3]. Jika ditelisik lebih mendalam dengan alasan apapun bahkan atas nama agama sekalipun perbuatan radikal demikian sangat tidak dibenarkan, karena pada dasarnya keseluruhan agama baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan sebagainya, dari segi konsepsi kesemuanya mengacu pada titik dan cita-cita yang sama yakni perdamaian dan kerukunan.[4]


Source: http://bit.ly/2GgLMFu
Dengan segala kecanggihan alat komunikasi dan semakin pesatnya pengguna internet dikalangan generasi muda saat,ini, kondisi tersebut tak jarang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya yang ekstrem (pemikiran yang melewati batas-batas rasional). kata ekstrem menurut istilah idiologi diartikan sebagai sesuatu yang berlebihan dalam berpolitik, beragama, bermadzhab yang dapat membahayakan individu maupun kelompok lain. Bentuk-bentuk  manifestasi ekstrem biasanya terlihat pada sikap tidak toleran terhadap norma-norma yang diterima dalam masyarakat termasuk pada konstitusi, UUD dan lain-lain, cenderung memilih cara yang ekstreme dalam menyelesaikan masalah, dan menolak hak asasi manusia (HAM) demi memaksakan tujuan.[5] Aktivis media sosial yang tidak kritis, berpengetahuan dangkal, dalam hal ini menjadi sasaran empuk kelompok radikal dalam menyebarkan pemikiran-pemikirannya yang ekstrem, karena memang Internet dan jejaring media sosial merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap anak muda untuk tertarik dengan perlakuan ekstremisme.

Dalam media sosial pemahaman ekstrem ini sangat banyak ditemukan, biasanya tersaji dalam bentuk narasi-narasi maupun propaganda-propaganda lainnya. Narasi ekstremis sebagaimana dinyatakan oleh Irfan Abu Bakar diartikan  sebagai rangkaian cerita yang dibuat sedemikian rupa, mengacu kepada alur cerita yang dikenal umum, untuk memenuhi hasrat mengatasi konflik dengan cara-cara ekstrem (kekerasan, pengerusakan, terror). Narasi ekstrem biasanya dibuat dengan semenarik mungkin dengan mempertimbangkan unsur-unsur di dalamnya seperti narasi induk (kitab suci al-Qur’an, hadist, atau peristiwa yang memiliki nilai historis), tema utama, aktor-aktor utama, plot (setting tempat dan waktu klimaks konflik, resolusi konflik), dan retorika.  Adapun salah satu bentuk contoh narasi ekstremis antara lain:


kebanyakan majelis-majelis NU yang didirikan hanya membicarakan masalah khilafiyah dan memusuhi golongan Islam lain. padahal ada hal yang lebih penting dari pada harus terus mengurusi hal-hal yang justru menggoyahkan persatuan umat muslim. muslim NU mencapai 60% dari total penduduk Indonesia, namun muslim NU lah yang menjadi mayoritas penduduk miskin dan pendidikan rendah di Indonesia. Berbeda dengan Muhammadiyah yang menguasai dan pendidikan Indonesia, juga wahabi yang dilindungi oleh pemerintah Arab Saudi, sehingga sulit di serang oleh kaum sabilis. Kaum muslim NU akhirnya menjadi sasaran empuk kaum kristenisasi, sehingga tak dapat dipungkiri banyak muslim NU yang murtad dari agamanya. Merekalah penyebab megapa muslim Indonesia terus berkurang dari 95% menjadi 87% saat ini.

Dari contoh diatas pesan yang hendak disampaikan dari kandungan narasi tersebut adalah “cara mengatasi konflik, Negara harus melindungi Islam dari serangan Kristen”. Mendeskreditkan kelompok lain yang tidak sepaham dengan pemikirannya itulah yang disebut dengan pemahaman ekstrem. Narasi extremis merupakan bagian utama dan terkuat dalam propaganda ekstremis. Selain narasi, propaganda juga sering disampaikan melalui pesan pendek, seperti iklan, meme, puisi, dll.  Bentuk ini biasa disebut dengan “messaging” (penyampaian pesan ekstrem).

Propaganda-propaganda ekstremis saat ini sangat mudah sekali ditemukan di media sosial, seperti Facebook, Instagram, akun Twitter, WA, dan lain-lain. Jika penguna media sosial setiap hari terus dihadapkan dengan berita-berita atau bacaan-bacaan ekstrem yang berseliweran tak menutup kemungkinan akan terpengaruhi dan terjerumus ke dalam pemahaman-pemahaman tersebut seiring dengan berjalannya waktu. Maka disinilah peran pemerintah dalam satu sisi sangat dibutuhkan untuk mengatur dan menata lalu lintas penyebaran informasi di masyarakat.

Selain adanya aturan dari pemerintah, pengguna media sosial selaku konsumen juga harus bertindak kritis. Cara yang dapat dilakukan oleh pengguna media sosial dalam hal ini adalah meng-counter berita-berita ekstrem dengan membuat narasi tandingan atau membuat kontra narasi ekstremis, yang bertujuan menandingi narasi ekstremis sehingga audiens selaku pengguna media sosial menolak mendukung tujuan ekstremis. Tanpa ada kontra narasi audiens akan dibuat percaya pada argumen ekstremis.

Membuat narasi tandingan atau kontra narasi ekstremis harus mampu mengenali titik lemah argument ekstremis, sehingga akan mudah dipatahkan melalui argument lain berdasarkan pada fakta dan kesejarahan yang ada. Narasi induk yang dapat dipakai sebagai inspirasi dalam membuat kontra narasi ekstremis diantaranya perjanjian Hudaibiyah, Khutbatul Wada’ perumpamaan orang bersedekah dijalan Allah, negeri Saba, dan semua cerita yang bersumber dari al-Qur’an, hadist, dan sejarah.[6] Argumen-argumen yang dapat di gunakan sebagai bahan dasar dalam membuat kontra narasi ekstremis mengacu kepada hak-hak asasi manusia, seperti perlindungan terhadap anak dan isteri (keluarga), ukhwah Islamiyah, menolong kaum lemah dan korban  konflik, menjaga moralitas sosial, menegakkan keadilan dan kejujuran, kesalehan, perhatian dan harga diri.
  Adapun contoh aplikasi kontra narasi dalam meng-counter narasi ekstremis sebagai berikut:
Argumen narasi ekstremis, mengenali masalah atau kemalangan yang dijadikan concern dalam narasi ekstremis dan cara mengatasinya.
·         Kemiskinan dan keterpurukan umat Islam, kelicikan musuh Islam.
·         Konflik dan keretakan dalam umat Islam, konspirasi musuh Islam.
·         Korupsi merajalela, karena tidak menggunakan hukum Allah, sistem daulah Islamiyah dan khilafah.

 Argumen kontra narasi ekstremis dalam membelokan cara mengatasi masalah kemiskinan dan keterpurukan umat Islam, dikerangka ulang menjadi kemiskinan masyarakat umum, termasuk umat Islam perlu pemberdayaan ekonomi, kebijakan pemerataan ekonomi, sbb.
Konflik dan keretakan dalam umat Islam, diterangkan ulang menjadi konflik sosial politik. Perlu dialog, negosiasi, rekonsiliasi.

Kritis, bijak, cerdas, menebar kebaikan adalah merupakan syarat utama pengguna media sosial masa kini. Jangan mudah terprovokasi, terhasut, dan mudah membenarkan segala sesuatu apa yang didapat dari dunia internet tanpa melakukan crosscheck, terutama masalah konflik politik maupun keagamaan. Jadikan ke canggihan teknologi digital saat  ini sebagai ajang untuk mengembangkan potensi diri, mengasah kemampuan, menebar kebaikan, untuk menyambut masa depan yang lebih cemerlang. Generasi mile­nnial saat ini harus bijak dalam menggunakan media sosial, bijak dalam memilih berita, karena masa depan negara Indonesia untuk beberapa tahun ke depan ditentukan oleh kita  sebagai generasi milennial saat ini. 
SALAM DAMAI. (Siti Maghfiroh/ Nailil Fithriyyah)



[1]          Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia, Bandung: Mizan Pustaka, 2017, Hlm. 35-36.
[2]    Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia, Bandung: Pt Mizan Pustaka, 2017, Hlm. 39.
[3] Ali Usman, Kiai Mengaji Santri Acungkan Jari, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012, Hlm. 125-127.
[4]    Amin Abdullah, Mencari Islam: Studi Islam Dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000, Hlm. 16.
[5]       Irfan Abu Bakar, disampaikan pada acara Preliminary Workshop: Penguatan Pesantren Dalam Promosi HAM Melalui Kontra Narasi Ekstremis,  malang, 30 oktober-2 November 2017.
[6]       Irfan Abu Bakar


Nurussalam

Author & Editor

Tim NUSA Media



0 komentar:

Posting Komentar

Social Time

Facebook
Like Us
Google Plus
Follow Us
Instagram
Follow Us
Youtube
Subscribe Us

Subscribe to our newsletter

(Get fresh updates in your inbox. Unsubscribe at anytime)